Kesetaraan gender, atau kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, mengacu
pada pemenuhan hak-hak, kesempatan dan perlakuan yang adil
oleh laki-laki
dan perempuan dari semua kelompok umur di segala tahapan
kehidupan.
Kesetaraan gender berarti bahwa semua manusia bebas
mengembangkan
kemampuan pribadi mereka dan memilih tanpa dibatasi oleh
stereotip dan
prasangka tentang peran gender atau karakteristik laki-laki
dan perempuan.
Kesetaraan gender tidak berarti bahwa laki-laki dan
perempuan adalah
sama, atau telah menjadi sama, tapi hak-hak, tanggungjawab,
status sosial dan
akses ke sumberdaya mereka tidak tergantung dari gender
mereka.
A. Kesetaraan Gender di Indonesia dalam Bermasyarakat
Perbedaan gender terkadang dapat menimbulkan suatu
ketidakadilan terhadap kaum laki – laki dan terutama kaum perempuan.
Ketidakadilan gender dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan,
yakni :
a. Marginalisasi Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan terhadap gender yaitu
marginalisasi perempuan. Marginalisasi perempuan ( penyingkiran / pemiskinan )
kerap terjadi di lingkungan sekitar. Nampak contohnya yaitu banyak pekerja
perempuan yang tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan
seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki.
Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang
lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki,
dan perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara
manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh
tenaga laki-laki. Dengan hal ini banyak sekali kaum pria yang beranggapan bahwa
perempuan hanya mempunyai tugas di sekitar rumah saja.
b. Subordinasi
Selain Marginalisasi, terdapat juga bentuk keadilan yang
berupa subordinasi. Subordinasi memiliki pengertian yaitu keyakinan bahwa salah
satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis
kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu terdapat pandanganyang menempatkan
kedudukan dan peran perempuan yang lebih rendah dari laki – laki. Salah satu
contohnya yaitu perempuan di anggap makhluk yang lemah, sehingga sering sekali
kaum adam bersikap seolah – olah berkuasa (wanita tidak mampu mengalahkan
kehebatan laki – laki). Kadang kala kaum pria beranggapan bahwa ruang lingkup
pekerjaan kaum wanita hanyalah disekitar rumah. Dengan pandangan seperti itu,
maka sama halnya dengan tidak memberikan kaum perempuan untuk mengapresiasikan
pikirannya di luar rumah.
c. Pandangan stereotype
Setereotype dimaksud adalah citra baku tentang individu atau
kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif
secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang
berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin,
(perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai
ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap
perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan
dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi
dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat,
bahkan di tingkat pemerintah dan negara.
Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi
bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat
menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda,
namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label
kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam
“kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label
laki-laki sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja
yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan
cenderung tidak diperhitungkan.
d. Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender
adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu
secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis
kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai
observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam
rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja
juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan,
kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan
perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak
ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu
sisi.
Kesetaraan gender di Indonesia masih dalam konteks
perlindungan hak ketenagakerjaan serta upah yang sepadan, tampaknya kita perlu
menilik kembali peran pemerintah terhadap para pahlawan devisa, khususnya para
kaum perempuan. Mereka adalah pihak yang memliki suara paling kecil untuk
didengar oleh pemerintah maupun penegak hukum, sebab posisinya yang seolah tak
memiliki hak yang sama untuk dilindungi secara penuh oleh kenegaraan.
Masih banyak TKW Indonesia yang hak-haknya belum sepenuhnya
terlindungi oleh negara. Masih marak pula terjadi kasus yang tak terselesaikan
sebab insignifikansi pemerintah (pemerintah mengganggap masalah ini tidak
penting) tentang hal ini. Lucunya, kasus TKW seringkali hanya disambut dengan
komentar ringan berupa ‘pemerintah belum dapat melindungi hak-hak umum para
TKW, serta belum dapat mengawasi seluruhnya kasus tentang pemerkosaan yang
marak terjadi’.
Ini menyangkut soal hak; yang berarti pula akan menjadi
masalah yang memberatkan atau bahkan menyulitkan Indonesia di kemudia hari jika
tak segera diselesaikan dengan aksi nyata. Apalagi TKW merupakan major labour
yang bertugas menopang satu dari beberapa pilar utama negara, lewat peran
pentingnya terhadap pasokan devisa. Sebab mereka kecil, tak berarti mereka
menyumbang peran yang kecil pula untuk negara.
Bisa jadi, dengan adanya aksi peningkatan perlindungan
kepada TKW secara nyata dan signifikan dari pemerintah akan memunculkan
stabilitas ekonomi lebih mumpuni, sehingga perannya untuk kesejahteraan negeri
secara langsung juga akan terasa besar. Pertanyaannya, apakah pemerintah
bersedia? Sebuah renungan untuk bangsa ini tentunya.
B. Kesetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan di
Indonesia
Perempuan sesungguhnya membutuhkan pendidikan seperti halnya
dengan laki – laki. Akan terlihat jelas apabila dilihat dari sejarah masa lalu
saat Indonesia masih di jajah, Para penjajah kurang menghargai kaum perempuan.
Mereka berlaku sewenang – wenang sesuka hati terhadap kaum perempuan di
Indonesia. Peristiwa ini menggambarkan bahwa kesetaraan gender sama sekali
belum ditegakkan. Dampak dari peristiwa tersebut, pandangan – pandangan
masyarakat sepeninggalnya yaitu terdapat masyarakat yang beranggapan bahwa
perempuan belum memiliki kesempatan untuk berperan sentral diberbagai bidang
seperti sekarang ini. Orang tua yang memiliki pandangan seperti itu, akan
menyekolahkan anak laki – lakinya setinggi – tingginya sedangkan anak perempuan
tidak harus bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu factor
peristiwa tersebut yaitu orang tua hanya beranggaoan bahwa peran perempuan
dalam kehidupan tidak lain adalah sebagai ibu rumah tangga yang tak perlu
sekolah tinggi – tinggi. Namun saat ini pemerintahan telah berupaya untuk
menegakkan kesetaraan gender. Hal ini terbukti dengan adanya program pemerataan
pendidikan di seluruh Indonesia, dengan hal ini banyak generasi penerus bangsa
yang merupakan calon pembangunan Negara ini mendapatkan mendapatkan kesempatan
yang sama dalam mengenyam pendidikan. Terlepas dari permasalahan pendidikan
yang ada, namun dapat diakui bahwa pandangan orang tua kolot masa lalu yang
tidak menyekolahkan anak perempuannya kini telah berubah. Terlihat bahwa pada
saat sekarang kaum perempuan pun banyak yang bersekolah hingga jenjang yang
tinggi. Selain hak untuk mendapatkan pendidikan, di Negara Indonesia sebenarnya
telah menerapkan kesetaraan gender dalam tatanan organisasi dari mulai
organisasi yang kecil hingga pemerintahan. Buktinya ialah perempuan pun
memiliki peranan yang sama dalam hal menduduki jabatan tertentu dalam suatu
institusi. Presiden Negara Indonesia yang pernah diduduki oleh seorang
perempuan yaitu Megawati Soekarno Putri merupakan bukti real-nya.
C. Pandangan Agama terhadap kesetaraan Gender
a. Kesetaraan gender menurut agama muslim
Sejak 15 abad yang lalu Islam telah menghapuskan
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Islam memberikan posisi yang tinggi
kepada perempuan. Prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam tertuang
dalam Kitab Suci Al-Quran. Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya isu gender
yang berdampak merugikan perempuan. Islam bahkan menetapkan perempuan pada
posisi yang terhormat, mempunyai derajat, harkat, dan martabat yang sama dan
setara dengan laki – laki.
Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu
kepada ayat – ayat Al-Qur’an. Suatu kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak
terkecuali beberapa guru agama yang belum memahami makna qodrat, apabila
berbicara soal jenis kelamin perempuan, dikaitkan dengan upaya mewujudkan
keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu akibat dari salah memahami alasan
untuk mempertahankan subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap
perempuan.
Al-Qur an sebagai “Hudan linnasi”, petunjuk bagi umat
manusia, dan kehadiran Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan sunnahnya, sebagai
“Rahmatan lil alamin”, tentu saja menolak anggapan di atas. Islam datang untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidak-adilan. Sejak awal
dipromosikan, Islam adalah agama pembebasan.
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan
kemasyarakatan. Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu
sebagai hamba dan sebagai representasi Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis
kelamin, etnik, dan warna kulit. Islam mengamanatkan manusia untuk
memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan, baik
sesama manusia maupun manusia dengan lingkungan alamnya.
b. Kesetaraan gender dari sudut pandang
agama khatolik
Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari
konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi,
laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan.
Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu
dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di
Indonesia, ajaran kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga Indonesia.
Dalam Kejadian 2 (Kejadian 2 (disingkat Kej 2) adalah bagian dari Kitab Kejadian
dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen.) Disebutkan bahwa
Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang pertama kali diciptakan
adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah Hawa. Kemudian
disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan
pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua. Perempuan juga dipandang
sebagai sumber dosa. Gereja mengambil teks ini sebagai dasar pandangan hubungan
(relasi) antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan ini dipandang hanya
berdasarkan jenis kelamin saja. Posisi subordinat (posisi yang rendah)
perempuan seperti inilah yang menjadi dasar pandangan awal gereja mengenai
perempuan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan
perkembangan zaman, Gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat. Gereja memperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran
agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci serta ajaran gereja
dengan pastoral lainnya.
1. Aspek Tradisi
Salah satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah
tradisi. Tradisi gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis
(Budaya yang menomor satukan laki – laki). Suami merupakan penguasa dalam
keluarga. Wanita diletakkan dalam posisi subordinat. Hal ini merupakan suatu
bentuk ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang
bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian
Baru menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal
tersebut maka perlu diadakan perubahan penafsiran kitab suci, terutama Kitab
Perjanjian Lama.
2. Aspek Teologi (Ilmu tentang Ketuhanan)
dan Filsafat
Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun Protestan, pencitraan
Allah adalah sebagai Bapak, sehingga muncul pandangan bahwa Allah adalah
laki-laki. Hal ini mengontruksikan suatu pemikiran bahwa laki-laki adalah
penguasa dalam keluarga sehingga sangat berpotensi menimbulkan kekerasan dalam
rumah tangga. Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah bersifat
personal sehingga Allah dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak maupun
sebagai Ibu.
3. Aspek Kitab Suci
Untuk memahami Kitab Suci perlu dipahami latar belakang
penulis. Dalam Kejadian 2 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa perempuan merupakan
manusia kedua, perempuan sebagai penggoda. Teks normatif ini sangat berpotensi
memunculkan kekerasan dalam rumah tangga jika ditafsirkan secara salah. Padahal
dalam Kejadian 1 ayat (26) disbutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan sama secitra dengan Allah, keduanya adalah baik.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak ketentuan-ketentuan yang
menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua, dan diposisikan pada posisi yang
sub ordinat. Hal ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan psikologis dalam
keluarga.Pencitraan perempuan yang cenderung terasa tidak adil gender ini
diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab Perjanjian Baru. Dalam
Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki.
Yesus menempatkan perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan
karena dianggap terlalu memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan
perempuan inilah kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum salib oleh
penguasa pada waktu itu yang memegang faham patriarkal.
4. Aspek Ajaran Gereja
Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan dianggap mempunyai
martabat yang sama dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak untuk berperan dalam
masyarakat. Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan haruslah
dihormati. Gereja mengemukakan sikap keterbukaan dalam keluarga, sehingga
interaksi dalam keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik dengan jelas
bersikap tidak toleran terhadap ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender
yang berpotensi memicu kekerasan dalam keluarga.
Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani urusan keluarga
yaitu pastoral keluarga yang bertugas melakukan pendampingan keluarga, untuk
menanggulangi munculnya kekerasan dalam rumah tangga, termasuk perceraian. Dari
hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik menolak ketidakadilan
gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih terdapat
hambatan yaitu faktor tradisi patriarkhis.
c. Kesetaraan gender dari sudut pandang
agama Kristen
Alkitab mengatakan bahwa Allah menciptakan perempuan dan
laki-laki menurut gambar dan rupa Allah: “Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej.1:27). Maksuddari ungkapan ‘menurut
gambar Allah’ dalam ayat ini tidak dalam arti bahwa manusia itu sama hakekat
dengan Sang Pencipta. Ungkapan itu lebih berarti bahwa Allah menciptakan
manusia sebagai makluk mulia, kudus, dan berakal budi, sehingga manusia bisa
berkomunikasi dengan Allah, serta layak menerima mandat dari Allah untuk
menjadi pemimpin bagi segala makluk (Kej.1:28-30). Status se-“gambar” dengan
Allah dimiliki tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Kedua
pihak punya status yang sama. Sebab itu tidak dibenarkan adanya diskriminasi
atau dominasi dalam bentuk apapun hanya karena perbedaan jenis kelamin.
Alkitab mencatat bahwa hubungan yang timpang antara
laki-laki dan perempaun itu terjadi setelah manusia memakan buah yang dilarang
oleh Allah (Kej. 3:12dst). Adam mempersalahkan Hawa sebagai pembawa dosa,
sedangkan Hawa mempersalahkan ular sebagai penggoda. Tetapi akhirnya Allah
menghukum Adam. Adam dihukum bukan hanya karena Adam ikut-ikutan makan buah
yang Allah larang, tetapi juga karena ketika Hawa berdialog dengan ular sampai
memetik buah, Adam ada bersama Hawa. Adam hadir di sana tetapi ia bungkam.
Dengan kata lain, perbuatan Hawa sebenarnya mendapat restu dari Adam. Karena
itu kesalahan ada pada kedua pihak. Itu berarti bahwa Adam dan kaum laki-laki
tidak bisa menghakimi Hawa dan kaumnya sebagai pembawa dosa.
Dalam perkembangan selanjutnya peranan perempuan mulai
dibatasi. Budaya Yahudi tidak banyak memberikan peluang kepada perempuan untuk
berkiprah. Ada sejumlah tokoh perempuan yang muncul dalam sejarah Israel,
tetapi peran mereka sangat terbatas. Di antara mereka ada Miryam, saudara
perempuan nabi Musa. Miryam juga dipakai Allah sebagai nabiah. Ia dan Harun
menegur Musa saat Musa kawin lagi dengan perempuan Kush. Meskipun Miryam dan
Harun bersama-sama mengajukan protes namun Miryamlah yang mendapat hukuman.
Terjadi semacam diskriminasi hukum antara laki-laki dan perempuan (Bil. 12).
Diskriminasi itu juga terjadi ketika orang kawin. Dalam budaya Israel seorang
suami bisa mengambil istri lebih dari satu orang (polygamy). Tetapi seorang
istri tidak diperkenankan untuk mengambil suami lebih dari satu orang
(poliyandry). Pada saat seorang perempuan melahirkan anak juga terjadi
diskriminasi. Jika perempuan melahirkan anak laki-laki ia dianggap najis selama
empat puluh hari. Sedangkan jika yang lahir adalah anak perempuan, maka ibu
anak itu dianggap najis selama delapanpuluh hari (Imamat 12). Dua perempuan
Israel yang dianggap mujur yakni Deborah menjadi nabiah dan hakim di Israel dan
Ester sebagai permaisuri Raja Ahazweros (Hak. 4:4dst; Est 8).
Pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi laki-laki
atas perempuan masih tetap berlangsung. Ketika Yesus mulai mengangkat
tugas-Nya, Ia bersikap menentang disriminasi dan dominasi itu. Suatu ketika
pemimpin-pemimpin agama Yahudi menangkap seorang perempuan yang kedapatan
berzinah lalu dibawa kepada Yesus. Mereka minta supaya perempuan ini dihukum
rajam sesuai aturan Yahudi. Tetapi Yesus tidak peduli terhadap permintaan
mereka. Pasalnya, mereka menangkap perempuan itu tapi tidak menangkap laki-laki
yang tidur dengan dia. Yesus berkata kepada mereka: “Barangsiapa yang tidak
berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam perempuan ini”. Tidak ada yang
berani melakukannya. Akhirnya Yesus menyuruh perempuan itu pulang dengan
nasihat supaya tidak berbuat dosa lagi (Yoh 8:2-11).
Dalam pelayanan-Nya, Yesus banyak menaruh perhatian kepada
orang-orang yang dianggap sebagai ‘sampah’ masyarakat, termasuk di dalamnya
beberapa perempuan. Salah satu di antaranya adalah Maria dari Magdala. Yesus
menyembuhkan Maria dari ikatan roh jahat. Kemudian Maria dan beberapa perempuan
lain mengiring Yesus dalam pelayanan-Nya (Luk 24:10). Lagi-lagi Yesus membela
posisi perempuan ketika sejumlah orang Farisi datang kepada-Nya dan
bertanya:”Apakah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan alasan apa
saja?” Yesus menjawab mereka kata-Nya: sejak semula perkawinan hanya terjadi
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam-Hawa). Perceraian hanya
bisa terjadi jika salah satu di antaranya berbuat zinah. Lalu orang-orang itu
bertanya lagi: “Kalau begitu mengapa Musa mengijinkan seorang suami membuat
surat cerai (talak)”? Lalu Yesus menjawab: karena ketegaran hatimulah Musa
melakukan hal itu. Tapi seharusnya tidak demikian (Mat 19:1-12). Karena
komitment-Nya terhadap kesetaraan perempuan dan laki-laki, maka pada saat Yesus
mati di salib, banyak perempuan ada bersama-sama dengan Dia serta mengunjungi
kubur-Nya.
Perjuangan menentang diskriminasi dan menegakkan hak-hak
perempuan tidak berakhir pada saat Yesus terangkat ke langit. Perjuangan itu
terus berlangsung dari abad ke abad. Umumnya orang mengakui bahwa perjuangan
yang cukup sengit dimulai pada abad ke-18, terutama sesudah berakhirnya
Revolusi Amerika (1775-1783) dan Revolusi Perancis (1789-1799). Kedua revolusi
itu berhasil menanamkan nilai-nilai: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan
antara semua penduduk. Momentum ini dipakai oleh kaum perempuan untuk menuntut
kesamaan hak dengan kaum lelaki. Selanjutnya pada tahun 1960-an terjadi
gelombang protes anti perang dan perjuangan hak-hak sipil yang terjadi di
Amerika Utara, berikut di Australia, dan di seluruh Eropah. Kesempatan itu
dianggap tepat untuk memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Yang menarik perhatian kita sekarang, bahwa gerakan memperjuangkan
kesetaraan gender sudah menjadi gerakan yang mendunia. Ia bukan hanya merupakan
usaha dari kelompok agama tertentu, tetapi sudah menjadi gerakan bangsa-bangsa
atas alasan kemanusiaan dan keadilan gender. Tentu kita mendukung semua perjuangan
semacam itu.
d. Kesetaraan gender dari sudut pandang agama
Budha
Dalam kehidupan bermasyarakat, sang budha tidak membedakan
peran laki-laki maupun perempuan. Mereka memliki peran yang setara dan adil.
Seperti laki-laki, perempuan juga bisa menjadi majikan, atasan, guru(brahmana)
sesuai kotbah sang Budha.
Mengacu pada perkembangan budha Dharma bahwa pemberdayaan
dan kemitrasejajaranperempuan telah diperjuangkan dan ditumbhkembangkan oleh
sang Budha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian
adalah perempuan dan diterangkan pula bahwaperempuan membawa peran penting
dalam perkembangan agama Budha
Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari kewajiban dan
tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan
kehidupan berumahtangga. Menurut agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki
dan perempuan yang muncul bersama di muka bumi ini.dan dia dapat terlahir
sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan antara laki-laki
maupun perempuan dalam agama budha tidak dipermasalahkan . agama budha
membimbing umatnya untuk menghargai gender.
Dalam Paninivana Sutta, sang Budha mengatakan seluruh umat
manusia tanpa tertinggalmemiliki jiwa Budha. Laki-laki dan perempuan memiliki
tugas yang agung, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalanjan fungsi
kehidupannya, maka keduanya memiliki karakter yang berlawanan, padahal justru
dari sinilah muncul keseimbangan.
e. Kesetaraan gender dari sudut pandang
agama Hindhu
Pengertian gender dalam agama Hindu merupakan hubungan
sosial yang membedakan perilaku antara perempuan secara proposional menyangkut
moral, etika, dan budaya, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan
diharapkan untuk berperan dan bertindak sesuai ketentuan sosial, moral, etika,
dan budaya di mana mereka berada. Ada yang pantas dikerjakan oleh laki-laki
ditinjau dari sudut sosial, moral, dan budaya, tetapi tidak pantas dikerjakan
oleh perempuan,demikian pula sebaliknya.Sesuai ajaran agama hindu, gender bukan
merupakan perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. agama hindu
mengajarkan bahwa seluruh umat manusia di perlakukan sama di hadapan tuhan
sesuai dengan dharma baktinya.
Manusia yang dilahirkan ke dunia merdeka dan mempunyai
martabat serta hak yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, baik laki-laki
maupun perempuan.
Istilah dewa-dewi lingga yoni dalam ajaran hindu
menggambarkan bahwa dualism ini sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena
tuhan yang maha esa menciptakan semua mahluk hidup selalu berpasangan.di dalam
kitab suci hubungan suami dan istri dalam ikatan perkawinan disebut sebagai
satu jiwa dari dua badan yang berbeda .
Lebih jauh di dalam manapadharmasastra di uraikan bahwa
tuhan yang maha esa menciptakan alam semesta beserta segala isinya dalam wujud
“ardha-nari-isvari”,sebagai sebagian laki-laki dan sebagian lagi sebagai
perempuan.
Isu kesetaraan gender yang hendak diangkat menjadi UU, lewat
RUU KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender) bagi sebagian kalangan masyarakat
khususnya para ulama sangat tidak setuju dengan adanya hal tersebut. Bukan
hanya itu, mereka pun mengatakan bahwa kesetaraan gender adalah virus yang
disebarkan oleh kaum liberalis barat yang mencoba melepaskan agama dari
kehidupan sehari-hari. Dengan adanya UU KKG tersebut, kaum liberalis mencoba
meliberalkan perempuan dari hukum Allah, mensekulerisasikan perempuan Muslim,
atas nama gender. Inti dari RUU KKG ini berniat menyamakan hak dan kewajiban
antara laki-laki dan wanita.
Kesetaraan gender telah menimbulkan dilema bagi perempuan
itu sendiri. Agama, khususnya Islam adalah solusi yang tepat dari dilema yang
ada, kita harus jelas kepada siapa kita berpegang. Kepada kebenaran yang
bersumber dari Tuhan atau berpegang kepada kebenaran yang kita cari dan
dapatkan sendiri yang belum tentu benar? Dalam agama sendiri sudah jelas
mengatur secara adil tentang peran dan fungsi masing-masing sesuai kodrat.
Lalu, masih perlukah sebuah tanda tanya besar mengenai problematika ini muncul?
Yang ada hanyalah tinggal kita sebagai makhluk yang beragama ini mempelajari
apa yang sudah ada. Menafsirkan secara mendalam apa yang telah diturunkan
kepada kita dan tidak perlu mencari kebenaran-kebenaran lain yang justru
menyesatkan. Apakah kita akan mendustakan agama kita sendiri? Atau kita akan
melawan logika Tuhan?
referensi : http://ilhamawalnugroho.blogspot.com/2014/11/kesetaraan-gender_22.html
referensi : http://ilhamawalnugroho.blogspot.com/2014/11/kesetaraan-gender_22.html
http://imandria.blog.com/?p=27
http://nciez-k.blogspot.com/2013/08/makalah-tentang-kesetaraan-gender.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar